Waktu kecil dulu, selalu diajarkan : beriman pada kitab-kitab Allah. Tapi saya kemudian berpikir, beriman yang seperti apa?
Setelah besar (remaja) saya mulai lebih berpikir… Duh Zabur, apakah itu. Perjanjian Lama (Taurat) gerangan seperti apa? Injil, apakah pula ini?. Dalam perjalanan itu, dengan berbekal pengetahuan masa kecil untuk beriman kepada kitab-kitab Allah, saya membaca jugalah Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru (Taurat dan Injil). :”Kan beriman pada kitab-kitab Allah !”. Emangnya ada larangan untuk mempelajari!. Begitulah sedikit argumen yang saya sampaikan.
“Ntar terpengaruh lho!?”
Namun dorongan untuk membaca, sedikit mempelajari saya anggap perlu juga. Ketertarikan adalah manusiawi saja. Beberapa bulan dibutuhkan waktu untuk membaca. Itu kejadian sepuluh tahun yang lalu lebih. Alasan saya untuk membaca adalah :
QS 5. Al Maa’idah 48. Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu,
QS 42. Asy Syuura 14. Dan mereka (ahli kitab) tidak berpecah belah, kecuali setelah datang pada mereka ilmu pengetahuan, karena kedengkian di antara mereka. Kalau tidaklah karena sesuatu ketetapan yang telah ada dari Tuhanmu dahulunya (untuk menangguhkan azab) sampai kepada waktu yang ditentukan, pastilah mereka telah dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang diwariskan kepada mereka Al-Kitab (Taurat dan Injil) sesudah mereka, benar-benar berada dalam keraguan yang menggoncangkan tentang kitab itu.
QS 4. An Nisaa’ 136. Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya.
Penandaan atau benchmarking, tolok ukur terhadap sesuatu menjadi penting. Karena saya merasa memiliki bench marking itu yang diyakini keterpeliharaannya, maka dengan mencoba memahami Al Maa’idah 48, saya membacanya. Tentu saja hanya karya terjemahan, seperti juga Al Qur’an. Dengan penguasaan bahasa Arab yang minim (sedang bahasa Indonesia saja, bahasa Ibu, masih berlepotan) maka hanya bisa meraba-raba saja. Injil yang asli, tentu saja bahasanya Ibrani, bahasa aslinya.
Dari sini, saya juga merasa, betapa keaslian dalam bahasa asli Al Qur’an adalah salah satu yang begitu penting keterpeliharaaannya.
Dari pengalaman ini, saya merasa penting terlebih dahulu membangun standar keimanan sebelum kita mempelajari lainnya, bahkan termasuk juga khasanah filsafat yang luas dan mendalam, kadang begitu logis dan membumi.
Dari bacaan, tolok ukur Al Qur’an dan penjelasan panjang lebar, saya mungkin bisa lebih memahami yang bergelora dalam masalah keberimanan di jaman yang serba instan ini. Ada dugaan yang sebelumnya telah berubah pemaknaannya. Saya tidak ingin membahasnya sedikitpun, toh itu telah disampaikan oleh ayat yang menjelaskan tentang apa yang “mereka” perselisihkan. Demikian juga jawaban mengenai %historitas kata-kata Yesus. Saya tidak ingin membahasnya.
Membaca kitab sebelum Al Qur’an tetaplah sebagai suatu usaha mengenali Islam sebagai agama yang diturunkan kepada Nabi akhir jaman dalam kacamata saya tidaklah keliru (semoga), meski tetap disarankan untuk menyadari sepenuhnya untuk memahami bahwa Al Qur’an adalah batu ujian bagi kitab-kitab yang lainnya.
0 komentar:
Posting Komentar