? ??????????????Light flip? ????? ?? ???Rating: 5.0 (1 Rating)??231 Grabs Today. 675 Total Grabs. ??????Pr
eview?? | ??Get the Code?? ?? ?????Rainbows? ????? ?? ???Rating: 4.7 (15 Ratings)??229 Grabs Today. 3229 Total Grabs. ??????Preview?? | ??Get the Code?? ?? ???????????? ????Easy Inst BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS ?

Selasa, 18 Agustus 2009

Artikel Inovasi Dalam Memenuhi Kebutuhan

Bioetanol; Bensin dari Singkong

1. PENDAHULUAN

Krisis energi yang melanda berbagai belahan dunia, sudah lama diprediksi para pakar. Maklum, minyak bumi (fossil fuel) adalah bahan bakar yang tak dapat diperbarui. Cepat atau lambat, minyak dunia akan habis. Saat ini, kebutuhan akan minyak melonjak begitu luar biasa. Karena itu tak mengherankan jika harganya juga ikut melambung. Di pasar dunia misalnya, beberapa bulan lalu, harga minyak bumi sempat melewati US$ 100 per barrel. Kendati harga perlahan kembali turun, namun ke depan, jika negara-negara di dunia tak segera mengantisipasi kelangkaan fossil fuel, harga minyak akan kembali melonjak.

Saat ini, peranan BBM sudah mencapai 63% dalam pemakaian energi final nasional-2003. Indonesia yang dulu menjadi negara pengekspor minyak, sejak tahun 2004 berubah menjadi negara pengimpor minyak. Pada tahun 2004 Indonesia mengimpor minyak 487 ribu barel/hari. Sementara itu harga minyak dunia terus mengalami peningkatan harga. Hal ini jelas akan menggoyang perekonomian nasional.

Struktur APBN masih bergantung pada penerimaan migas dan subsidi BBM. Naiknya harga minyak dunia mengakibatkan membengkaknya subsidi BBM. Kebijakan pengurangan subsidi BBM yang diterapkan pemerintah akhirnya berakibat pada meningkatnya biaya-biaya perekonomian masyarakat.

Akibat penggunaan bahan bakar fossil ini, Indonesia menjadi pecandu minyak nomor satu di dunia. Sumberdaya alam yang tak bisa diperbaharui ini dieksploitasi dari dalam perut bumi untuk konsumsi industri, transportasi, dan rumah tangga. Sisa pembakarannya adalah CO, CO2, NO2, Pb, dan logam-logam berat lainnya dalam komposisi lebih kecil. Bahan-bahan berbahaya dan beracun tersebut, mencemari tanah, air, udara dan lapisan ozon, menyebabkan pemanasan global, kerusakan lingkungan dan mengganggu kesehatan, seperti infeksi saluran pernafasan, iritasi mata, dan lain-lain.


2. ARTIKEL TERKAIT

Bangunan di tepi jalan alternatif ke kota Sukabumi itu tersembunyi di antara kebun singkong. Tak ada yang mengira di gedung 3 kali lapangan voli itu Soekaeni mengolah umbi singkong menjadi 2.100 liter bioetanol setiap bulan. Dari jumlah itu 300 liter dijual ke pengecer premium dan 800 liter ke pengepul industri kimia. Harga jual untuk kedua konsumen itu sama: Rp10.000 per liter, sehingga pensiunan PT Telkom itu meraup omzet Rp21-juta per bulan.

Biaya untuk memproduksi seliter bioetanol berbahan baku singkong berkisar Rp3.400- Rp4.000. Satu liter bioetanol terbuat dari 6,5 kg singkong. Dari perniagaan bioetanol pria kelahiran 6 September 1950 itu meraup laba bersih Rp12-juta per bulan. Selain singkong, sekarang ia juga memanfaatkan molase alias limbah tetes tebu sebagai bahan baku. Bioetanol produksi Soekaeni itulah yang dimanfaatkan sebagai campuran premium oleh para tukang ojek di Nyangkowek, Kecamatan Cicurug, Kabupaten Sukabumi, untuk bahan bakar kendaraan bermotor. Satu liter premium diberi campuran 0,1 liter bioetanol.


Meski harganya lebih mahal ketimbang premium, mereka tetap membelinya karena kinerja mesin lebih bagus dan konsumsi bahan bakar lebih hemat. Setahun terakhir popularitas bioetanol alias etanol yang diproses dari tumbuhan dan biodiesel atau minyak untuk mesin diesel dari tanaman memang meningkat. Keduanya-bioetanol dan biodiesel-merupakan bahan bakar nabati. Bersamaan dengan tren itu, bermunculan produsen bioetanol skala rumahan. Menurut Eka Bukit, produsen bioetanol, kriteria skala rumahan bila produksi maksimal 10.000 liter per hari.

Saat ini volume produksi skala rumahan beragam, dari 30 liter hingga 2.000 liter per hari. Selain Soekaeni di Cicurug, Sukabumi, masih ada Sugimin Sumoatmojo. Warga Bekonang, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah, itu mengolah 1.500 molase alias limbah pabrik gula menjadi 500 liter bioetanol per hari. Untuk menghasilkan 1 liter bioetanol pria kelahiran 31 Desember 1947 itu memerlukan 3 liter molase.

Ia mengutip laba Rp2.500 per liter sehingga keuntungan bersih mencapai Rp1.250.000 per hari. Selama sebulan, mesin bekerja rata-rata 30 hari. Dengan demikian total jenderal volume produksi mencapai 15.000 liter yang memberikan untung bersih Rp37,5-juta per bulan. Di Bekonang dan sekitarnya, produsen bioetanol skala rumahan menjamur. Menurut Sabaryono, ketua Paguyuban Perajin Bioetanol Sukoharjo, total produsen mencapai 145 orang.
Bahan berlimpah

Daftar produsen bioetanol skala rumahan kian panjang jika ditulis satu per satu. Mereka bertebaran di Sukoharjo, Pati, (Jawa Tengah), Natar (Lampung), Sukabumi (Jawa Barat), Minahasa (Sulawesi Utara), dan Cilegon (Banten). Para produsen kecil itu mengendus peluang bisnis bioetanol. Harap mafhum, bahan baku melimpah, proses produksi relatif mudah, dan pasar terbentang menjadi daya tarik bagi mereka.

Menurut Dr Arif Yudiarto, periset bioetanol di Balai Besar Teknologi Pati, ada 3 kelompok tanaman sumber bioetanol. Ketiganya adalah tanaman mengandung pati, bergula, dan serat selulosa. Beberapa tanaman yang sohor sebagai penghasil bioetanol adalah aren dengan potensi produksi 40.000 liter per ha per tahun, jagung (6.000 liter), singkong (2.000 liter), biji sorgum (4.000 liter), jerami padi, dan ubijalar (7.800 liter).

Pada prinsipnya pembuatan bioetanol melalui fermentasi untuk memecah protein dan destilasi alias penyulingan yang relatif mudah sehingga gampang diterapkan. Berbeda dengan proses produksi biodiesel yang harus melampaui teknologi esterifikasi dan transesterifikasi. Apalagi sebetulnya bioetanol bukan barang baru bagi masyarakat Indonesia. Pada zaman kerajaan Singosari-700 tahun silam-masyarakat Jawa sudah mengenal ciu alias bioetanol dari tetes tebu. Itu berkat tentara Kubilai Khan yang mengajarkan proses produksi.

Lalu pasar? Eka Bukit yang mengolah nira aren kewalahan melayani permintaan bertubi-tubi. Setidaknya 275.000 liter permintaan rutin per bulan tak mampu ia pasok. Permintaan itu datang dari industri farmasi dan kimia. 'Pasarnya luar biasa besar,' ujar alumnus Carlton University itu. Oleh karena itu Eka tengah membangun pabrik pengolahan bioetanol di Kabupaten Lebak, Banten. Menurut Indra Winarno, direktur PT Molindo Raya Industrial produsen di Malang, Jawa Timur, permintaan etanol, 'Tak terbatas.'

Pasok langsung.

Sebagai substitusi bahan bakar premium, permintaan bioetanol sangat tinggi. Mari berhitung, 'Kebutuhan bensin nasional mencapai 17,5- miliar per tahun,' ujar Ir Yuttie Nurianti, manajer Pengembangan Produk Baru Pertamina. Yuttie menuturkan 30% dari total kebutuhan itu impor. Seperti diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah No 5/2006 dalam kurun 2007-2010, pemerintah menargetkan mengganti 1,48-miliar liter bensin dengan bioetanol lantaran kian menipisnya cadangan minyak bumi.

Persentase itu bakal meningkat menjadi 10% pada 2011-2015, dan 15% pada 2016-2025. Pada kurun pertama 2007-2010 selama 3 tahun pemerintah memerlukan rata-rata 30.833.000 liter bioetanol per bulan. Dari total kebutuhan itu cuma 137.000 liter bioetanol setiap bulan yang terpenuhi atau 0,4%. Itu berarti setiap bulan pemerintah kekurangan pasokan 30.696.000 liter bioetanol untuk bahan bakar.

Pangsa pasar yang sangat besar belum terpenuhi lantaran saat ini baru PT Molindo Raya Industrial yang memasok Pertamina. Dari produksi 150.000 liter, Molindo memasok 15.000 liter per hari. Molindo menjual biopremium melalui Pertamina Rp5.000 per liter.



3. PENUTUP (KESIMPULAN)


Saya telah membaca dan meneliti artikel ini. Kreatifitas dalam memenuhi kebutuhan itu memang sangat diperlukan. Terlebih disaat era globalisasi ini, kebutuhan yang semakin bertambah tidak diiringi dengan tersedianya sumberdaya terkait. Maka kita harus bisa mengganti sumberdaya yang telah ada dengan berbagai alternatif sumberdaya lain yang fungsinya sama. Dalam artikel diatas, sumberdaya bensin yang terbuat dari bahan bakar fosil digantikan dengan bahan bakar bernama bioetanol yang berbahan dasar tanaman mengandung pati, bergula, dan serat selulosa, seperti aren, singkong, jagung, ubijalar, dll. Dan kedua bahan bakar tersebut memiliki fungsi sama yakni, sebagai bahan bakar. Manfaat:Penggunaan bioetanol secara ekonomi bisa menekan biaya produksi BBM. Lalu, mengurangi pencemaran lingkungan, terlebih Gas buang bahan bakar nabati lebih bisa menekan polusi udara dibanding bensin. Selain itu, gas buangnya mengandung senyawa yang bermanfaat bagi tanaman jalan. Misalnya, CO2. Berbeda dengan bensin yang gas buangnya mengandung gas CO yang jelas sangat merugikan kesehatan mahluk hidup. Bagi saya inovasi yang dilakukan oleh Pak Soekani dari Sukabumi ini memang cukup inovatif dan berguna. Namun, persoalannya tidak hanya sampai disitu. Bahan baku yang digunakan untuk pembuatan bioetanol yang merupakan bahan pangan kebutuhan sehari-hari menjadi terkena dampaknya. Kebutuhan tanaman pangan untuk diolah menjadi sumber bahan bakar menyebabkan permintaan meningkat. Seperti, harga minyak sawit turut terdongkrak akibat kenaikan kebutuhan selain untuk minyak goreng dan turunannya, kini dimanfaatkan pula untuk biosolar. Terutama dengan tanaman pangan semacam jagung, kedelai, singkong, ubi, tebu yang menjadi sumber bahan baku untuk bioetanol. Terjadilah tarik-menarik kepentingan antara pangan dan sumber energi.

Menurut saya hal yang demikian cukup menyulitkan. Karena beberapa tanaman pangan seperti, jagung dan singkong telah dijadikan bahan makanan pokok dibeberapa daerah tertentu. Namun, manusia pasti akan selalu berusaha untuk tetap memenuhi kebutuhannya dengan terus melakukan inovasi. Bahan bakar tak kalah penting dengan bahan makanan pokok. Tanpa bahan bakar, tidak mungkin bahan makanan pokok dapat di distribusikan ke seluruh pelosok negeri. Karena kendaraan untuk pendistribusian memerlukan bahan bakar. Namun, tanpa bahan makanan pokok orang tidak mungkin dapat hidup. Jadi, keduanya saling terkait. Maka, menurut saya hal yang dapat dilakukan adalah mengganti bahan makanan seperti, jagung dengan bahan makanan pokok lain seperti sagu atau nasi. Jika hal tersebut kurang efektif, maka, bahan baku bioetanol difokuskan terhadap satu bahan baku seperti aren atau singkong sampai keadaan pangan membaik.


0 komentar: